AKULTURASI ISLAM di
INDONESIA
AKULTURASI ISLAM di
INDONESIA BIDANG TRADISI
Islam merupakan salah satu agama yang masuk
dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi
Anda, karena di mass media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca
bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di
dunia.Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai,
kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran
Islam.
Wujud AkulturasiBudaya Islam DiIndonesia
Maka
terjadilah Akulturasi,yang semulanya indonesia menganut kepercayaan Hindu-
Budha,dengan masuknya agama islam yang dibawa sejumlah penyebar agama
,makabersatulah atau terjadi akulturasi antara islam dan Hindhu – Budha yg
merupakan kepercyaan awal.
Banyak sekali macam akulturasi yg
terjadi,yaitu ada dibidang :
-Seni
rupa
-Aksra
dan seni sastra
-Sistem
Pemerintahan
-Sisrem
Kalender
-Seni
bangunan dan Arsitektu
Dan selain itu terdapat bidang lain
yaitu,Masuknya Islam di Indonesia melahirkan berbagai macam tradisi yg sekarang
ini masih di lakukan pada sebagian besar masyarakat di Indonesia.
WUJUD
AKULTURASI KE BUDAYAAN ISLAM DI BIDANG TRADISI
1. GREBEG
BESAR
Tradisi Grebeg besar di Demak, Tradisi ini merupakan tradisi yang ada pada zaman
wali songo di mana pada waktu itu, di lingkungan Masjid Agung Demak di
selenggarakan keramaian yang disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai
upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga. Keramaian itu kini dikemas
dalam suatu even yang di sebut dengan Gerebeg Besar.
2. LARUNG SESAJI KE LAUT, TRADISI SYAWALAN
Tradisi ini rutin digelar tujuh hari setelah Idul Fitri.
Acara diawali dengan arak-arakan yang dikawal sembilan orang berpakaian adat
jawa sebagai simbol Wali Songo.
Nasi tumpeng yang dimasukkan dalam miniatur perahu ditandu oleh empat orang sebagai simbol empat cantrik yang berguru kepada Sunan Kalijogo. Nasi tumpeng dan aneka hasil laut kemudian dibawa ke atas perahu untuk dilarung ke tengah lautan. Sebelum tumpeng dilarung, seorang sesepuh terlebih dulu memimpin doa agar para nelayan tetap dikaruniai rezeki melimpah.
Nasi tumpeng yang dimasukkan dalam miniatur perahu ditandu oleh empat orang sebagai simbol empat cantrik yang berguru kepada Sunan Kalijogo. Nasi tumpeng dan aneka hasil laut kemudian dibawa ke atas perahu untuk dilarung ke tengah lautan. Sebelum tumpeng dilarung, seorang sesepuh terlebih dulu memimpin doa agar para nelayan tetap dikaruniai rezeki melimpah.
3. RUWATAN
Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan
syura. Proses upacara diawali dgn Keramaian Wayang Kulit dgn cerita Murwokolo,
peserta Ruwatan akan menjalani berbagai prosesi yg dipimpin oleh tokoh adapt
setempat. Ruwatan ini bermaksud untuk menghindari diri dari malapetaka sang
Batara Kala pada anak” yg kurang beruntung. Seperti halnya bagi anak tunggal
ataupun dua anak laki” semua atau perempuan semua. Tradisi ini merupakan
tradisi Jawa yg terus dilakukan secara turun temurun.
Sebelum
pelaksanaan Ruwatan, anak” yg mengikuti Ruwatan harus melakukan prosesi
sungkeman pada kedua orang tua masing”. Setelah itu dilakukan penyucian diri
dgn pemotongan rambut yg dialasi dgn kain. Nantinya, jubah akan dilarung atau
dibuang kelaut beberapa bualn setelah pelaksanaan.
4.
TRADISI BULUSAN
Mbah Dado seorang alim
ulama penyebar agama Islam. Beliau mempunyai murid bernama Umara dan Umari.
Dalam perjalanannya menyebarkan agama Islam beliau berniat untuk mendirikan
sebuah pesantren. Maka ditemukanlah tempat yang tepat untuk membangun pesantren
tersebut, yaitu di kaki Gunung Muria. Pada bulan Ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul
Qur'an datang Sunan Muria untuk bersilaturrahmi dan membaca Al Qur'an bersama
Mbah Dado, sahabatnya. Dalam perjalanannya, Sunan Muria mendengar orang bekerja di sawah pada malam hari sedang ndaut(mangambil bibit padi). Suna Muria
berhenti sejenak dan berkata, "Lho, malam Nuzulul Qur'an kok tidak baca Al
Qur'an, malah di sawah berendam air seperti bulus saja?" Akibat perkataan
itu Umara dan Umari seketika menjadi bulus (kura-kura air tawar). Datang Mbah Dado untuk memintakan maaf
atas kesalahan santrinya kepada Suna Muria. Akan tetapi, ibarat nasi sudah
menjadi bubur, tidak mungkin dapat kembali lagi. Akhirnya, Sunan Muria
menancapkan tongkatnya ke tanah, keluar mata air atau sumber sehingga diberilah
tempat itu nama Desa Sumber dan tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi
nama pohon tamba ati. Sambil meninggalkan
tempat itu Sunan Muria berkata, "Besok anak cucu kalian akan menghormatimu
setiap satu minggu setelah hari raya bulan Syawal tepatnya waktu Bada Kupat.
sampai sekarang setiap bada kupat tempat tesebut ramai dikunjungi orang untuk
berziarah dan juga melihat bulus. Tradisi ini sekarang masih ada san terkenal
dengan nama Bulusan.
5. DANDANGAN
Tradisi
ini sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Sunan Kudus (Syeh Jakfar
Shodiq, salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa).
Pada
saat itu, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di
Masjid Menara menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal puasa. Para
santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga dari daerah sekitarnya
sepertiKendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban,
Jawa Timur. Karena banyaknya orang berkumpul, tradisi dandangan kemudian tidak
sekadar mendengarkan informasi resmi dari Masjid Menara, tetapi juga
dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu. Para pedagang itu
tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari berbagai daerah sekitar Kudus,
bahkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka biasanya berjualan mulai dua
minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang puasa.
6. TRADISI
BARATAN
Tradisi Baratan tradisi yang senantiasa dilaksanakan
pada pertengahan di bulan Sya’ban (Nisfu), dan ini hanya ada di Jepara tepatnya
pada masyarakat Kalinyamatan. Salah satu tradisi masyarakat Jepara yang erat
kaitannya dengan Ratu Kalinyamat adalah “Pesta Baratan”. Kata “baratan” berasal
dari sebuah kata Bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau
“barakah” yang berarti keberkahan. Tradisi Pesta Baratan dilaksanakan setiap
tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang
bertepatan dengan malam nishfu syakban. Kegiatan dipusatkan di Masjid Al Makmur
Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Ritualnya sederhana, yaitu setelah shalat
maghrib, umat islam desa setempat tidak langsung pulang. Mereka tetap berada di
masjid / musholla untuk berdo’a bersama. Surat Yasin dibaca tiga kali secara
bersama-sama dilanjutkan shalat isya berjamaah. Kemudian memanjatkan doa nishfu
syakban dipimpin ulama / kiai setempat, setelah itu makan (bancaan) nasi puli
dan melepas arak-arakan. Kata puli berasal dari Bahasa Arab : afwu lii, yang
berarti maafkanlah aku. Puli
terbuat dari bahan
beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau
tanpa dibakar. Asal usul tradisi ini, Setelah berperang melawan Aryo
Penangsang, Sultan Hadirin tewas dan jenazahnya dibawa pilang oleh isterinya
(Ratu Kalinyamat) pulang ke Jepara. Peristiwa itu berlangsung malam hari,
sehingga masyarakat disepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut
rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor.
Setelah makan nasi puli, masyarakat di
desa Kriyan dan beberapa desa di sekitarnya (Margoyoso, Purwogondo, dan
Robayan) turun dari masjid / mushalla untuk melakukan arak-arakan. Ada aksi
theatrikal yang dilaksanakan seniman setempat, selebihnya diikuti oleh seluruh
lapisan masyarakat dewasa maupun anak-anak. Ribuan orang dengan membawa lampion
bergerak dari halaman masjid Al Makmur Desa Kriyan dengan mengarak simbol Ratu
Kalinyamat dan Sultan Hadirin menuju pusat Kecamatan. Mereka meneriakkan
yel-yel ritmis : tong tong ji’ tong jeder, pak kaji nabuh
jeder, dan
sebagian lainnya melantunkan shalawat Nabi.
Dari sisi agama, tradisi ini dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang dipanjatkan.
Dari sisi agama, tradisi ini dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang dipanjatkan.
7.
TRADISI TONGTEK
Tongtek adalah sebuah kegiatan
tradisi membangunkan orang agar melaksanakan sahur dengan memukul-mukul
kentongan dari bambu, memang cukup populer setiap ramadhan. Tradisi ini sudah ada
sejak jaman dulu ratusan tahun yang lalu. Kegiatan tongtek ini memang ada hanya pada bulan ramadhan
yang merupakan salah satu warisan dari Walisongo. Tongtek ini biasanya paling sedikit dilakukan
2 orang hingga puluhan orang dengan semua alat yang digunakan.
8. TRADISI MALAM SELIKURAN
Seribu
tumpeng diperebutkan oleh abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta dan masyarakat
sekitar. Tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun untuk memeringati malam
selikuran atau malam ke dua puluh satu dalam hitungan bulan Ramadan yang biasa
disebut malam Lailatul Qadar itu. Seribu tumpeng tersebut
dikirab dari Keraton Kasunanan Surakarta menuju Masjid Agung Solo yang berjarak
sekitar 500 meter. Para abdi dalem juga membawa lampu menyerupai lampion atau
ting. Sehingga kirab ini juga dikenal dengan nama ting-ting hik. Di depan barisan ancak canthaka, terdapat joli kencana
atau kotak menyerupai anchak canthaka yang berukuran besar dan berbentuk
menyerupai rumah-rumahan. Di dalam joli kencana tersebut terdapat ingkung.
Setiap prosesi tumpeng seribu selalu ada dua joli kencana dan satu ting
berukuran besar, lengkap dengan cap logo Keraton Surakarta. tradisi malam
selikuran dengan mengusung seribu tumpeng merujuk pada malam lailatul qodar
yang jatuh pada malam ganjil di bulan Ramadan. Makanya kirab dilakukan pada
malam selikur sebagai malam ganjil. Dan pada malam lailatul qadar adalah malam
seribu pahala. Lalu, jumlah pahala tersebut diibaratkan dengan jumlah seribu
tumpeng. Selain itu, pada malam ke dua
puluh satu bulan Ramadan atau malam ganjil. Nabi Muhammad SAW juga mendapatkan
wahyu di Jabal Nur. Dan ketika turun dari Jabal Nur disambut oleh para sahabat
dengan membawa obor selama perjalanan pulang menuju kediaman Sang Nabi. Dengan begitu, obor yang dibawa oleh para sahabat Nabi
tersebut diibaratkan dengan membawa ting pada prosesi kirab ini. Bentuk ting
yang dibawa para abdi dalem pun beraneka ragam, ada yang berbentuk bintang,
kotak hingga bulat lampion. Setelah
melakukan kirab dari keraton hingga masjid, selanjutnya seribu tumpeng tersebut
diletakkan di serambi masjid. Lantas, tumpeng tersebut pun dibacakan doa yang
diamini oleh para abdi dalem dan warga masyarakat umum.
9. SEKATEN
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan
selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara
ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut
cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati,
Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan
Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas
bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh
upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara
tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan
sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya
10. TRADISI SANGGRING
Tradisi
budaya peninggalan putra Sunan Giri pertama yaitu Sunan Dalem. Tradisi ini
masih ada hubungannya dengan asal mula nama Desa Gumeno yang diberikan oleh
Sunan Dalem. Awalnya desa ini bernama Qumna, berarti golonganku. Nama Qumna
sekarang disebut Gumeno. Qumna sendiri berasal dari bahasa Arab di mana q
dibaca dengan G. Desa Gumeno terletak antara Desa Tanggulrejo dengan Pedagang
(padukuhan Desa Tanggulrejo), Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, berbatasan
antara kabupaten Gresik dengan Kabupaten Lamongan. Alkisah, suatu malam, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Sunan Dalem beserta santri-santri mereka
pergi ke hutan belantara untuk memperluas syiar Islam. Setiba di hutan mereka
membangun masjid (sekarang Masjid Jami’ Sunan Dalem) dibangun dalam waktu
semalam dan saat itu belum ada seorang pun penghuninya. Setelah membangun
masjid Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat kembali dan hanya Sunan Dalem
yang tinggal untuk menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Setelah masjid
dibangun, ada tokoh dari daerah lain (sekarang Sipunar) melihat cahaya terang
dari tengah hutan. Esoknya, beliau mencari asal sinar yang ternyata dari
masjid. Akhirnya beliau mengajak warga sekitar berbondong-bondong hijrah ke
tempat tersebut. Suatu saat Sunan Dalem merasa badannya kurang sehat. Beliau
memerintahkan warga mengusahakan obat untuk beliau. Namun, tak ada obat maupun
orang pintar yang dapat menyembuhkannya. Sunan Dalem berdoa kepada Allah SWT
dan mendapat petunjuk agar membuat masakan obat. Esoknya Sunan Dalem memerintahkan
warga agar membawa ayam jago berusia satu tahun. Warga pun berduyun-duyun ke
masjid membawa ayam jago. Ayam-ayam pun disembelih dan sebagian warga
menyiapkan bumbu-bumbu. Jadilah kemudian makanan dan tradisi sanggring
(singkatan dari nggrangsange wong gering). Atau, keinginan dari orang sakit.
Karena setelah menyantap sanggring atau kolak ayam, Sunan Dalem mendapat
hidayah sembuh dari penyakit. Sanggring yang warisan Sunan Dalem tersebut sejak
saat itu tradisi ini dilaksanakan setiap malam 23 bulan Ramadan.
11. TRADISI NGIRAB
Bulan Safar yang diyakini bulan yang penuh malapetaka yang
kemungkinannya bisa terjadi di antara kita. hal ini konon di yakini sebagai
upaya Sunan kalijaga untuk mencegah kemungkinan datangnya Rebo Wekasan, beliau
mandi di Sungai Drajat pada saat berguru pada Sunan Gunung Djati untuk
membersihkan diri dari bala di hari Rebo Wekasan. Ini akhirnya di ikuti oleh
masyarakat pada saat itu dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon. Hingga
kini masyarakat Cirebon di hari Rebo Wekasan mengunjungi petilasan Sunan
Kalijaga. Dengan menggunakan perahu mereka menuju kalijaga dan melakukan mandi
di tempat yang di yakini dulu Sunan kalijaga mandi. Adat ini disebut dengan
"Ngirab" yang artinya bergerak atau menggerakan sesuatu untuk membuang
yang kotor. Beberapa masyarakat masih meyakini adat ini dengan dengan serius
secara sepiritual, akan tetapi kebanyakan orang hanya untuk rekreasi dan
bersenang-senang saja untuk melupakan bulan yang penuh bala ini.